Mengapa Sultan Agung Menyerang Belanda Di Batavia?
Halo, guys! Pernah dengar tentang Sultan Agung? Pasti dong! Salah satu pahlawan kita yang super keren dari Kesultanan Mataram. Nah, kali ini kita bakal ngulik tuntas kenapa sih beliau sampai ngotot banget ingin menyerang Belanda di Batavia? Bukan cuma sekali, lho, tapi sampai dua kali! Pertanyaan besar kita adalah, kenapa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia? Yuk, kita bedah satu per satu alasan kuat di baliknya, biar kita semua makin paham sejarah bangsa ini. Ini bukan sekadar cerita perang biasa, tapi ini adalah kisah perjuangan, ambisi, dan harga diri!
Mengapa Sultan Agung Melancarkan Serangan ke Batavia?
Oke, guys, jadi alasan utama Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia itu sebenarnya kompleks banget, bukan cuma satu atau dua faktor doang. Ini adalah akumulasi dari berbagai kepentingan politik, ekonomi, bahkan sampai harga diri dan spiritualitas. Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung itu lagi on fire banget, lagi di puncak kejayaan dan punya ambisi besar untuk menguasai seluruh Jawa. Tapi, di tengah jalan, ada benalu yang menghalangi, yaitu VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau yang kita kenal sebagai Kompeni Belanda. Kehadiran VOC di Batavia, yang notabene adalah pusat perdagangan strategis, jelas-jelas jadi duri dalam daging bagi Sultan Agung. Mereka ini bukan cuma pedagang, tapi juga punya ambisi politik dan militer yang mengancam kedaulatan Mataram. Jadi, serangan ini bisa dibilang sebagai upaya untuk menjaga kehormatan dan cita-cita besar Mataram.
Ambisi Mataram dan Ekspansi Kekuasaan
Salah satu pemicu utama kenapa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia adalah ambisi Mataram yang luar biasa besar untuk menyatukan seluruh Jawa di bawah panji-panji Kesultanan Mataram. Bayangin aja, guys, di awal abad ke-17, Mataram itu lagi jaya-jayanya, lagi di puncak performa. Sultan Agung punya visi yang jelas: menjadikan Mataram sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan Islam di Jawa yang tak tertandingi. Seluruh kerajaan kecil di Jawa bagian tengah dan timur sudah berhasil ditaklukkan, dan kekuasaan Mataram sudah membentang luas. Tapi, ada satu titik yang dianggap sebagai anomali, yaitu keberadaan VOC di Batavia. Batavia ini bukan cuma sekadar kota pelabuhan, tapi juga simbol kekuatan asing yang berpotensi menghalangi unifikasi Jawa yang dicita-citakan Sultan Agung. Mataram melihat VOC sebagai ancaman serius terhadap ambisi mereka untuk menjadi penguasa tunggal di Jawa. Keberadaan benteng VOC yang kokoh di Batavia, serta pengaruhnya yang semakin meluas, jelas-jelas membuat Sultan Agung merasa perlu mengambil tindakan tegas. Beliau tidak ingin ada kekuatan asing yang mendikte atau menghalangi rencananya untuk membangun imperium Jawa yang kuat dan berdaulat. Ini bukan cuma soal kekuasaan, tapi juga tentang identitas dan harga diri Mataram sebagai kerajaan besar. Sultan Agung merasa bertanggung jawab untuk membersihkan Jawa dari pengaruh asing yang dianggap merusak tatanan dan tradisi lokal, sekaligus untuk mengamankan jalur perdagangan penting yang dikuasai oleh VOC. Oleh karena itu, serangan ke Batavia menjadi langkah yang esensial dan tak terhindarkan dalam mewujudkan visi besar Sultan Agung untuk Mataram.
Dominasi VOC dan Ancaman Ekonomi
Selain ambisi politik, faktor ekonomi juga jadi alasan krusial mengapa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia. VOC itu, guys, bukan cuma sekadar datang untuk berdagang. Mereka itu pemain ulung dalam strategi monopoli. Begitu mereka berhasil menancapkan kuku di Batavia dan menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda dan sekitarnya, mereka langsung menerapkan kebijakan yang merugikan pedagang-pedagang pribumi, termasuk pedagang dari Mataram. Mataram, sebagai kerajaan agraris dan maritim, sangat bergantung pada perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya untuk pemasukan kas kerajaan. Dengan VOC yang mengontrol sebagian besar pelayaran dan pelabuhan, terutama di wilayah pesisir utara Jawa, Mataram jadi kesulitan untuk melakukan ekspor dan impor secara bebas. Harga-harga komoditas jadi dimainkan oleh VOC, dan pedagang-pedagang Mataram harus membayar pajak atau izin yang tinggi untuk bisa berlayar. Ini jelas-jelas mencekik perekonomian Mataram dan melemahkan pengaruhnya di kawasan perdagangan Asia Tenggara. Sultan Agung tahu betul, kalau ini dibiarkan, bukan cuma ekonomi Mataram yang lumpuh, tapi juga kekuasaan politiknya akan ikut tergerus. Dia nggak mau, dong, kerajaannya yang megah ini jadi boneka ekonomi Belanda. Monopoli perdagangan yang dilakukan VOC ini bukan cuma soal duit, tapi juga soal kontrol dan kedaulatan. Jika Mataram tidak bisa mengamankan jalur perdagangannya sendiri, maka secara tidak langsung, kedaulatan ekonomi Mataram akan berada di tangan VOC. Maka dari itu, upaya untuk menghancurkan Batavia dan mengusir VOC adalah langkah strategis untuk merebut kembali kontrol ekonomi dan memastikan kemakmuran Mataram tetap terjaga. Ini adalah pertarungan untuk menyelamatkan urat nadi ekonomi kerajaan dari cengkeraman Kompeni yang rakus.
Konflik Politik dan Kedaulatan
Persoalan kedaulatan dan konflik politik adalah inti dari mengapa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia. Sejak awal, Mataram tidak pernah mengakui keberadaan VOC sebagai entitas politik yang berdaulat di tanah Jawa. Bagi Sultan Agung, seluruh Jawa adalah wilayah kekuasaannya, dan kehadiran VOC di Batavia dianggap sebagai penjajah ilegal yang mencoreng kehormatan dan kedaulatan Mataram. VOC sendiri, dengan bentengnya yang kokoh dan angkatan bersenjata yang kuat, seringkali menunjukkan arogansi dan tidak menghormati otoritas lokal. Mereka membangun benteng, memperluas wilayah kekuasaan mereka di sekitar Batavia, dan bahkan berani campur tangan dalam urusan internal kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara Jawa. Ini jelas-jelas memicu kemarahan Sultan Agung. Beliau tidak bisa menerima adanya kekuatan asing yang seolah-olah punya hak untuk menguasai sebidang tanah di Jawa tanpa izin dan restu dari Mataram. Kontak-kontak diplomatik antara Mataram dan VOC seringkali berakhir buntu karena perbedaan prinsip dasar ini. VOC ingin dianggap sebagai kekuatan yang setara, sementara Sultan Agung melihat mereka hanya sebagai pedagang asing yang seharusnya tunduk pada hukum Mataram. Konflik ini memuncak ketika VOC mulai mendirikan pos-pos perdagangan yang semakin mendekat ke wilayah pengaruh Mataram, bahkan berani melakukan tindakan-tindakan provokatif. Sultan Agung melihat bahwa jika VOC dibiarkan tumbuh dan semakin kuat, lambat laun mereka akan menjadi ancaman langsung bagi eksistensi Mataram sebagai kerajaan berdaulat. Oleh karena itu, serangan ke Batavia bukan hanya upaya untuk merebut kembali wilayah, tetapi juga deklarasi tegas bahwa Mataram adalah penguasa sejati Jawa dan tidak akan tunduk pada kekuatan asing manapun. Ini adalah pertarungan untuk menegaskan harga diri bangsa dan kedaulatan wilayah yang tak bisa ditawar-tawar.
Faktor Religius dan Kebanggaan
Aspek religius dan kebanggaan juga punya peran penting dalam keputusan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia. Sultan Agung dikenal sebagai pemimpin yang sangat religius dan menjunjung tinggi ajaran Islam. Mataram di bawah kepemimpinannya juga berambisi untuk menjadi pusat kebudayaan dan penyebaran Islam di Nusantara. Nah, keberadaan VOC, yang notabene adalah kekuatan asing non-Muslim dan datang dengan agenda kolonial, dianggap sebagai ancaman terhadap kemurnian ajaran Islam dan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang Islami. VOC membawa serta gaya hidup dan sistem nilai yang berbeda, yang bagi Sultan Agung, berpotensi merusak tatanan masyarakat yang sudah mapan. Lebih dari itu, bagi Sultan Agung dan rakyat Mataram, melawan VOC adalah juga bagian dari jihad, perjuangan suci untuk membela agama dan tanah air dari invasi asing. Ada semacam panggilan spiritual untuk membersihkan Jawa dari pengaruh kafir yang mencoba mendominasi. Ini bukan hanya tentang perang fisik, tapi juga perang ideologi dan spiritual. Kebanggaan sebagai kerajaan Islam yang besar dan kuat juga memotivasi Sultan Agung. Dia tidak ingin Mataram terlihat lemah atau tunduk di hadapan kekuatan asing. Serangan ke Batavia adalah manifestasi dari semangat patriotisme dan religiusitas yang tinggi, sebuah penegasan bahwa Mataram adalah pelindung agama dan penjaga kedaulatan tanah Jawa. Ini adalah pertunjukan kekuatan dan keteguhan iman yang diyakini akan mendapat ridho dari Tuhan. Jadi, bisa dibilang, serangan ini juga didasari oleh semangat untuk menjaga kemuliaan agama dan harga diri bangsa dari cengkraman penjajah asing. Ini adalah perang untuk menjaga identitas dan martabat Mataram sebagai kerajaan Islam yang berdaulat dan perkasa.
Serangan-Serangan Sultan Agung: Strategi dan Pelaksanaan
Oke, guys, setelah kita tahu alasan-alasannya, sekarang kita masuk ke bagian yang nggak kalah seru: bagaimana sih Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia itu? Perlu diingat, ini bukan tugas yang gampang, lho. Batavia itu punya benteng yang kokoh, dilengkapi meriam-meriam canggih, dan dijaga oleh pasukan VOC yang terlatih. Sultan Agung sadar betul tantangan ini, makanya beliau merancang strategi yang cukup matang, meskipun pada akhirnya terkendala berbagai hal. Serangan ini membuktikan betapa gigihnya perjuangan Mataram untuk mengusir VOC. Ada dua serangan besar yang dilancarkan, yaitu pada tahun 1628 dan 1629. Dua-duanya punya strategi dan tantangan yang berbeda, tapi semangatnya sama: menumbangkan Kompeni di Batavia.
Serangan Pertama (1628)
Pada tahun 1628, Sultan Agung melancarkan serangan pertamanya ke Batavia. Ini adalah upaya awal untuk menguji kekuatan VOC dan menunjukkan keseriusan Mataram dalam menghadapi Kompeni. Strategi utama dalam serangan pertama ini adalah pengepungan. Pasukan Mataram yang besar, diperkirakan mencapai puluhan ribu prajurit, dikirim untuk mengepung Batavia dari darat. Tujuan utamanya adalah untuk memblokade pasokan makanan dan air ke dalam benteng Batavia, berharap VOC akan kelaparan dan menyerah. Namun, guys, ini adalah misi yang sangat menantang. Jarak dari Mataram ke Batavia itu jauh banget, perjalanan darat memakan waktu berminggu-minggu, melewati hutan lebat dan medan yang sulit. Masalah logistik langsung jadi kendala utama. Bagaimana caranya membawa ribuan prajurit beserta perbekalan makanan dan senjata sejauh itu? Ini adalah PR besar bagi Mataram. Selain itu, VOC di Batavia itu nggak diam aja. Mereka punya jaringan intelijen yang cukup baik, dan mereka juga sudah memperkuat benteng serta pertahanan mereka. Ketika pasukan Mataram tiba di sekitar Batavia, mereka langsung dihadang oleh meriam-meriam VOC yang daya jangkaunya jauh lebih efektif. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan. Pasukan Mataram, meskipun sangat berani dan bersemangat, menghadapi masalah besar dalam hal persenjataan. Mereka sebagian besar masih menggunakan senjata tradisional seperti keris, tombak, dan pedang, yang kalah jauh canggih dibandingkan meriam dan senapan-senapan VOC. Selain itu, masalah persediaan makanan dan penyakit mulai melanda pasukan Mataram. Banyak prajurit yang jatuh sakit atau kelaparan karena jalur pasokan yang terganggu dan sanitasi yang buruk. VOC juga melakukan serangan balasan, membakar lumbung-lumbung padi yang sempat didirikan Mataram di sekitar Batavia. Akibatnya, serangan pertama ini tidak berhasil mencapai tujuannya. Pasukan Mataram harus mundur dengan kerugian besar, baik dari segi prajurit maupun perbekalan. Meskipun gagal, serangan ini memberikan pelajaran berharga bagi Sultan Agung tentang betapa tangguhnya pertahanan VOC dan betapa vitalnya masalah logistik dalam perang jarak jauh. Ini menjadi pengalaman pahit, namun menjadi dasar untuk merancang strategi yang lebih baik di kemudian hari.
Serangan Kedua (1629)
Meskipun gagal di serangan pertama, Sultan Agung sama sekali tidak patah arang! Beliau justru belajar banyak dari kegagalan tersebut dan merancang strategi yang jauh lebih matang untuk serangan kedua pada tahun 1629. Kali ini, Sultan Agung benar-benar serius dan mempersiapkan segalanya dengan lebih cermat, menunjukkan tekad kuatnya mengapa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia lagi. Pelajaran paling berharga dari serangan pertama adalah logistik. Untuk mengatasi masalah pasokan makanan, Sultan Agung memerintahkan pasukannya untuk menanam padi di beberapa lokasi strategis di sepanjang jalur perjalanan menuju Batavia, jauh sebelum serangan dilancarkan. Lumbung-lumbung padi ini diharapkan bisa menjadi sumber makanan bagi prajurit saat mereka tiba di dekat Batavia. Selain itu, jumlah pasukan yang dikerahkan juga lebih besar, dan mereka dilengkapi dengan persenjataan yang lebih baik, meskipun masih belum sebanding dengan VOC. Strategi pengepungan tetap menjadi pilihan utama, namun kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Pasukan Mataram bergerak dalam formasi yang lebih terorganisir dan berusaha untuk menutup rapat-rapat akses masuk dan keluar Batavia. Mereka juga mencoba untuk meracuni sumber air di Ciliwung yang menjadi pasokan utama bagi VOC. Namun, lagi-lagi, Kompeni tidak tinggal diam. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang terkenal kejam dan cerdik, sudah mengambil langkah-langkah antisipasi. Mereka memperkuat benteng, menambah jumlah pasukan, dan meningkatkan kewaspadaan. Ketika pasukan Mataram tiba, mereka kembali disambut dengan hujan tembakan meriam yang mematikan. Lumbung-lumbung padi yang sudah disiapkan Mataram juga berhasil ditemukan dan dibakar oleh pasukan VOC. Upaya meracuni air juga tidak efektif karena VOC punya sumber air cadangan dan berhasil membersihkan sungai. Pertempuran ini berlangsung lebih sengit dan berlarut-larut. Pasukan Mataram menunjukkan keberanian yang luar biasa, berulang kali mencoba menerobos pertahanan VOC. Namun, lagi-lagi, masalah logistik, penyakit, dan keunggulan persenjataan VOC menjadi faktor penentu. Ribuan prajurit Mataram gugur dalam pertempuran ini, termasuk beberapa panglima penting. Pada akhirnya, dengan kerugian yang sangat besar dan persediaan yang menipis, Sultan Agung terpaksa memerintahkan pasukannya untuk mundur kembali ke Mataram. Serangan kedua ini, meskipun dipersiapkan dengan jauh lebih baik, juga berakhir dengan kegagalan militer. Namun, ini menunjukkan spirit pantang menyerah Sultan Agung dan Mataram dalam menghadapi penjajah. Ini bukan cuma tentang menang atau kalah, tapi tentang perlawanan dan keberanian yang takkan pernah padam.
Kendala Logistik dan Hambatan Alam
Memahami mengapa Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia dan mengapa serangannya gagal juga berarti memahami betapa besar kendala logistik dan hambatan alam yang harus dihadapi. Bayangin aja, guys, pada abad ke-17, belum ada jalan tol, belum ada truk pengangkut logistik, apalagi pesawat! Jarak dari pusat Mataram di Jawa Tengah sampai ke Batavia di Jawa Barat itu ratusan kilometer. Ini bukan perjalanan sehari dua hari, tapi bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, melewati medan yang berat, hutan belantara, dan sungai-sungai besar. Transportasi dan pasokan makanan menjadi musuh utama pasukan Mataram. Mereka harus membawa beras, senjata, peralatan, dan segala macam kebutuhan untuk puluhan ribu prajurit. VOC dengan kecerdikannya seringkali membakar lumbung-lumbung padi yang disiapkan Mataram di sepanjang jalur perjalanan, atau menyerang rombongan logistik. Ini membuat pasukan Mataram seringkali kelaparan dan kekurangan air bersih setibanya di Batavia. Selain itu, penyakit juga jadi momok. Kondisi sanitasi yang buruk selama perjalanan dan di medan pertempuran, ditambah dengan kelelahan, membuat prajurit rentan terserang wabah penyakit seperti malaria atau disentri. Banyak prajurit yang gugur bukan karena senjata VOC, tapi karena penyakit. Hambatan alam juga tak kalah menyulitkan. Sungai-sungai yang meluap, musim hujan yang membuat jalur berlumpur, serta medan yang tidak familiar bagi prajurit Mataram, semuanya menambah daftar tantangan. Pasukan Mataram juga harus menghadapi cuaca panas terik yang menguras stamina. Sementara itu, VOC yang berada di dalam benteng kokoh Batavia, punya akses mudah ke laut untuk pasokan makanan dan bala bantuan dari kapal-kapal mereka. Mereka juga punya sumur-sumur di dalam benteng. Ini jelas memberikan keuntungan besar bagi VOC. Jadi, kegagalan serangan Sultan Agung ini bukan semata karena kurangnya keberanian atau strategi, tapi juga karena logistik dan alam yang seolah tidak berpihak. Ini adalah pelajaran berharga tentang betapa pentingnya manajemen logistik dalam sebuah operasi militer berskala besar, terutama di era pra-industri. Perjuangan Mataram memang luar biasa, tapi tantangan yang dihadapi juga tidak main-main.
Perlawanan Gigih VOC
Di balik kegagalan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia, ada satu faktor lagi yang tidak bisa diabaikan: perlawanan VOC yang super gigih dan terorganisir. Jujur aja, guys, VOC itu bukan lawan yang enteng. Mereka datang ke Nusantara bukan cuma buat berdagang, tapi juga buat mengamankan kepentingan mereka dengan cara apapun. Batavia dibangun sebagai benteng yang sangat kokoh, lengkap dengan parit, tembok tebal, dan meriam-meriam modern yang jarak tembaknya jauh lebih unggul dibandingkan senjata tradisional Mataram. Mereka juga punya angkatan laut yang kuat, yang bisa mengamankan pasokan dan memberikan dukungan tembakan dari laut. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, yang memimpin VOC saat itu, adalah sosok yang kejam dan sangat strategis. Dia tahu betul ambisi Sultan Agung, dan dia siap menghadapi serangan apapun. VOC memiliki pasukan yang terlatih secara militer, disiplin, dan dilengkapi dengan senapan flintlock yang lebih canggih. Mereka juga ahli dalam membangun pertahanan dan bertahan dalam pengepungan. Selama serangan Mataram, VOC tidak hanya pasif bertahan di dalam benteng. Mereka melakukan serangan balasan (sally), keluar dari benteng untuk membakar lumbung-lumbung padi Mataram, menyerang perkemahan pasukan Mataram, dan memotong jalur pasokan. Mereka juga memanfaatkan teknologi artileri mereka secara maksimal, menghujani posisi pasukan Mataram dengan tembakan meriam yang mematikan. Selain itu, VOC juga punya jaringan intelijen yang cukup efektif. Mereka sering mendapatkan informasi tentang pergerakan dan persiapan pasukan Mataram, sehingga bisa mengambil langkah-langkah antisipasi. Kesiapan VOC dalam menghadapi serangan, ditambah dengan keunggulan teknologi dan strategi pertahanan mereka, menjadi tembok tebal yang sulit ditembus oleh pasukan Mataram. Jadi, perlawanan gigih dari VOC ini adalah salah satu alasan kuat mengapa Mataram, meskipun dengan segala keberanian dan semangat juang, harus mengakui keunggulan militer Kompeni di Batavia. Ini adalah pertarungan antara semangat juang tradisional melawan teknologi dan strategi perang modern.
Dampak dan Warisan Serangan Sultan Agung
Meski secara militer serangan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia tidak berhasil merebut Batavia, dampaknya terhadap sejarah dan kesadaran bangsa kita itu luar biasa dan tak ternilai harganya, guys. Ini bukan cuma tentang kemenangan atau kekalahan di medan perang, tapi tentang semangat perlawanan yang ditanamkan. Warisan dari serangan ini jauh lebih besar dari sekadar hasil akhir pertempuran. Peristiwa ini menjadi salah satu penanda penting dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme. Sultan Agung, dengan segala tekadnya, telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam memori kolektif kita.
Kegagalan Militer Namun Kemenangan Moral
Secara de facto dan strategis, dua kali serangan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia memang harus diakui berakhir dengan kegagalan militer. Batavia tidak berhasil direbut, dan VOC tetap berdiri kokoh di sana. Pasukan Mataram menderita kerugian besar, baik dari segi jumlah prajurit yang gugur maupun perbekalan yang habis. Namun, guys, ada satu hal yang jauh lebih penting dari sekadar kemenangan di medan perang, yaitu kemenangan moral. Bagi rakyat Jawa dan seluruh Nusantara, serangan Sultan Agung ini adalah simbol perlawanan yang tak kenal menyerah terhadap penjajah asing. Sultan Agung menunjukkan bahwa ada pemimpin pribumi yang berani menentang kekuatan kolonial yang saat itu dianggap tak terkalahkan. Beliau tidak gentar menghadapi VOC yang punya persenjataan lebih canggih dan benteng yang kokoh. Ini mengirimkan pesan kuat bahwa bangsa pribumi tidak akan tunduk begitu saja. Semangat perlawanan ini membakar jiwa rakyat dan menjadi inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya dalam menghadapi penjajahan. Kegagalan militer ini tidak mengurangi rasa hormat dan kekaguman terhadap Sultan Agung. Sebaliknya, beliau justru diangkat sebagai pahlawan yang gigih dan berani, yang mencoba mempertahankan kehormatan dan kedaulatan bangsanya. Perjuangan Sultan Agung menjadi legenda yang diceritakan turun-temurun, menumbuhkan rasa nasionalisme dan harga diri. Jadi, meskipun kalah dalam pertempuran fisik, Sultan Agung dan Mataram berhasil meraih kemenangan moral yang jauh lebih abadi. Mereka menanamkan benih-benih perlawanan yang kelak akan tumbuh subur dan mengobarkan semangat kemerdekaan. Ini adalah bukti bahwa semangat juang takkan pernah bisa dikalahkan, meskipun teknologi dan kekuatan fisik berpihak pada lawan. Kemenangan moral inilah yang menjadi warisan tak ternilai dari serangan Sultan Agung.
Pengaruh Terhadap Hubungan Mataram-VOC
Setelah dua kali Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia tanpa hasil, hubungan antara Kesultanan Mataram dan VOC berubah drastis, guys. Dulu mungkin ada sedikit harapan untuk hubungan diplomatik atau setidaknya hubungan dagang yang lebih seimbang, tapi setelah serangan ini, hubungan mereka jadi sangat tegang dan penuh kecurigaan. Mataram tetap melihat VOC sebagai musuh yang harus diwaspadai, dan VOC pun menganggap Mataram sebagai ancaman serius yang harus terus diawasi. Akibatnya, Mataram menerapkan kebijakan isolasi terhadap VOC. Mereka melarang pedagang-pedagang VOC untuk masuk ke wilayah kekuasaan Mataram, terutama di pelabuhan-pelabuhan penting. Mataram juga berusaha untuk mengurangi ketergantungan ekonominya pada jalur perdagangan yang dikuasai VOC. Namun, di sisi lain, VOC justru semakin gencar memperkuat posisinya di Batavia dan memperluas pengaruhnya di wilayah pesisir Jawa. Mereka mulai mencari sekutu di antara kerajaan-kerajaan kecil yang tidak puas dengan dominasi Mataram, memecah belah kekuatan di Jawa demi kepentingan mereka sendiri. Ini menciptakan ketegangan politik yang berlangsung selama bertahun-tahun. Hubungan yang dulu mungkin masih bisa disebut